Kamis, 27 Desember 2012

Cerpen karya Maggie Tiojakin: "Kota Abu-Abu"


"Kota Abu-Abu"
Cerpen Maggie Tiojakin (Kompas, 2 Desember 2012)

TERLETAK di ujung dunia, di mana hujan turun tanpa henti dan matahari terus bersembunyi di balik awan gelap, kota ini menelan, mengunyah dan melepehkan segala macam warna hingga kusam tanpa nyawa.
Merah, kuning, biru, hijau, jingga, ungu–semua tampak sama saja jika dibalut sendu. Hanya ada satu warna yang konstan di sini; yaitu abu-abu. Bahkan air laut yang mengelilingi tepian kota tampak keabuan. Begitu juga dengan langit yang memayungi serta tanah yang jadi pijakan kami.

Sesekali ada saja warga kota yang pergi melanglang buana, mengelilingi dunia, dan kembali membawa segenggam tanah merah atau daun kering yang telah kemuning. Cerita petualangan mereka selalu beragam dan sangat menarik untuk dijadikan .................Selengkapnya

Rabu, 26 Desember 2012

Cerpen karya Afrizal Malna: "Pasir Retak"


Pasir Retak
Cerpen Afrizal Malna (Jawa Pos, 20 Mei 2012)

HUJAN turun di atas api. Suara api dan suara hujan bercampur seperti suara sungai dengan alirannya yang deras. Keduanya menjadi nyanyian cinta menjelang senja.

Hujan tak tahu kenapa api membuat warna merah jingga yang panas,api juga tak tahu kenapa hujan dipanggil hujan setiap ia turun, seperti mahluk terbuat dari air yang turun dari langit. Mereka berdua, hujan dan api itu, mengatakan: biarlah angin terus berjalan dari kota ke kota, mengantar gunung dan laut kepadamu, mengantar langit dan tanah kepadamu, mengantar bisik-bisik dari dalam sejarah lebih dekat lagi dengan telingamu. Keduanya menolak tentang berita yang disiarkan beberapa pemancar TV, bahwa telah turun “hujan api” di sebuah kota.

Kami adalah hujan dan api, bukan hujan-api.

Basa-basi itu, antara hujan dan api, mereka katakan itu setiap pagi hanya untuk merayu agar....Selengkapnya

Cerpen karya Dafriansyah Putra: "Surau Kaki Bukit"


"Surau Kaki Bukit"
Cerpen Dafriansyah Putra (Republika, 25 November 2012)

SURAU mendadak ramai. Biasanya, meskipun waktu shalat wajib tiba, hanya seorang Gaek Puai yang senantiasa menjaga sujudnya di hamparan sajadah surau ini. Entahlah, apakah masyarakat di sekitar banyak melaksanakan shalat di masjid-masjid besar bersajadah harum di sana, atau malah mereka mungkin lupa untuk shalat. Akan tetapi ramainya surau kali ini bukanlah untuk beribadah.

Aku terpaku menyaksikan orang-orang bertopeng dan berpakaian aneh sibuk ......... Selengkapnya

Sabtu, 15 Desember 2012

Cerpen karya Arswendo Atmowiloto: "Bu Geni di Bulan Desember"

"Bu Geni di Bulan Desember"
Cerpen Arswendo Atmowiloto (Kompas, 20 Mei 2012)

BAGI Bu Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan lalu, sekarang ini, atau bulan depan berarti Desember. Maka kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal, melainkan hari. Kalau mengundang bilang saja Jumat dua Jumat lagi. Kalau mengatakan tanggal 17, bisa repot. Karena tanggal 17 belum tentu jatuh hari Jumat. Kalau memesan tanggal 17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang sesuai hari yang dijanjikan.

Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.

Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti  .....................selengkapnya

Cerpen karya Agus Noor: "Kurma Kiai Karnawi"


Kurma Kiai Karnawi
Cerpen Agus Noor (Kompas, 7 Oktober 2012)

TUBUH orang itu menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering penuh sisik kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada yang mencengkeram rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang begitu mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan. Orang-orang yakin: dia terkena teluh, dan hanya kematian yang bisa menyelamatkan.

Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astaghfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang menyaksikan, “Biarkan dia istirahat.”

Keesokan harinya, orang itu sudah bugar.
Kisah itu hanyalah salah satu dari banyak kisah yang sudah Hanafi dengar tentang Kiai Karnawi. Kisah paling dramatik yang Hanafi dengar, ialah .................... selengkapnya

Cerpen karya Budi Darma: "Tangan-tangan Buntung"

Tangan-tangan Buntung
Cerpen Budi Darma (Kompas, 29 Juli 2012)

TIDAK mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.

Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden

Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka...........selengkapnya

Jumat, 14 Desember 2012

Cerpen karya Sanie B. Kuncoro: "Gumading Peksi Kundur"

Gumading Peksi Kundur
Cerpen Sanie B. Kuncoro (Jawa Pos, 18 November 2012)

LAKI-LAKI itu datang padamu di suatu sore yang bercahaya. Musim kemarau ketika itu, terik kulminasi matahari masih tersisa di sekitarmu. Debu tipis melekat pada reranting dan dedaunan. Saat angin menghampiri, akan kau dengar gemerisik dedaunan yang seolah membisikkan dahaganya kepadamu. Tak hendak kau abaikan bisikan itu, namun kunjungan seorang tamu di beranda rumah tentulah harus dipedulikan terlebih dahulu. Siraman air untuk mereka haruslah menunggu.

Kau letakkan canting dan meredupkan nyala api pada wajan berisi malam cair. Tanpa meneliti ulang, gerak tanganmu telah mengatur nyala sumbu kompor itu pada ukuran yang tepat. Redup yang pas untuk menghangatkan malam dengan titik api yang aman, sekadar untuk menjaganya tetap berupa lelehan tanpa akan membakar apalagi menghanguskan ............................Selengkapnya

Rabu, 12 Desember 2012

Cerpen karya Irwan Kelana: "Sepanjang Jalan Cinta"

Sepanjang Jalan Cinta
Cerpen Irwan Kelana (Republika, 18 November 2012)

SEORANG lelaki tak bisa lari dari takdirnya sendiri. Ia tak bisa menolak manakala takdir cinta menghampirinya.

Delapan  tahun lalu, saat Tuhan  memanggil Rindu kembali ke haribaan-Nya, Bayu merasa amat terpukul. Mengapa Dia  mencerabut wanita yang sangat dikasihinya–seorang istri yang sangat lembut dan penyayang–dari kehidupannya? Mengapa secepat itu wanita yang merupakan cinta pertamanya sejak SMA  meninggalkannya dengan menitipkan dua orang putra yang baru duduk di bangku kelas I SMP dan kelas V SD?

Suatu malam, seusai menunaikan tugas suami-istri yang sangat indah, istrinya berbisik di telinganya.

“Mas percaya kepada Allah?”

Bayu tertawa kecil. “Ya iyalah.”

“Betul-betul percaya kepada Allah?” tanya istrinya lagi.....................selengkapnya,

Selasa, 11 Desember 2012

Cerpen karya Abidah El Khalieqy: "Kamar Dua Belas"

Kamar Dua Belas
Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 1 April 2012)

KAMAR hotel jadi sunyi. Tiba-tiba saja, Komar dan Syamsu, dua penghuni kamar mewah nomor dua belas itu saling berpikir tentang kematian. Tentu banyak versi, banyak cara pandang yang bisa diulang untuk melihat kematian seseorang. Seperti keduanya, meski titik awal dan akhir telah ditemukan, masih juga berdebat untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Sampai keduanya membisu, berdiam diri di antara kemewahan lampu merkuri.

Beberapa saat kemudian, Komar tak tahan dengan kebisuan dan memulai percakapan dengan nada bijaksana. Ringan saja kata-katanya, seolah sedang memberi nasihat pada murid-muridnya di sekolahan.

“Bagiku tak sulit mengenali kematiannya. Manusia bisa dilihat di ..............Selengkapnya


Senin, 10 Desember 2012

Cerpen karya Danang Probotanoyo: "Pahlawan Tersisa di Makam Tua"

Pahlawan Tersisa di Makam Tua
Cerpen Danang Probotanoyo (Republika, 11 November 2012

SENJA temaram menjemput malam. Kumaidi duduk di kursi rotan tua yang nyaris berbentuk bulat mirip telur ayam. Kursi dan meja pasangannya tersebut pemberian Pak Sudjono (almarhum), bekas komandan peleton di PETA tempat Kumaidi bergabung dulu.

Kursi itu masih kokoh walau pliturannya nyaris tak berbekas. Hanya meja nakas pasangannya yang sudah kelihatan reyot. Itu pun diusahakan Kumaidi agar bisa lebih lama lagi masa pakainya dengan diperkuat beberapa paku pada siku-sikunya. Kursi dan meja itu dikirim sendiri oleh Pak Sudjono pada tahun 1978 sebagai hadiah sekaligus bentuk solidaritasnya terhadap kekurangberuntungan nasib Kumaidi, sebagai sesama ekspejuang kemerdekaan. Pak Sudjono sendiri mengakhiri pengabdiannya kepada republik sebagai pensiunan di pabrik gula terbesar di kota mereka. Kondisi kontras dialami Kumaidi yang hingga sekarang masih terus berjuang, berjuang dan berjuang. Bedanya hanya pada medannya .................Selengkapnya,

Cerpen karya Afrizal Malna: "Tulisan Kelinci Merah"

Tulisan Kelinci Merah
Cerpen Afrizal Malna (Kompas, 11 November 2012)

BAU tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.

Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.

Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan ............Selengkapnya,

Cerpen karya Adi Ekopriyono: "Kontemplasi di Tepi Campuhan"

"Kontemplasi di Tepi Campuhan"
Cerpen Adi Ekopriyono (Suara Merdeka, 11 November 2012)

DI teras bungalow itu. Di sela-sela bunyi serangga malam. Lolong anjing di kejauhan. Pada semilir angin sepoi-sepoi basah. Gemericik air sungai.

Di sela dingin yang menggelayut. Di kesunyian yang mendera.
Mataku nanap, menatap samar-samar kelebatan pepohonan yang ditelan gelap. Inikah keteduhan yang Engkau kirim kepadaku lewat keheningan malam di tepi Sungai Campuhan? Jiwaku bergejolak. Antara ada dan tiada. Antara fenomena dan nomena. Apakah Engkau sedang mengajariku tentang makna kehidupan sesungguhnya, yang sama sekali lain? Seperti kata Krishnamurti,  .................Selengkapnya,

Cerpen karya Azizah Hefni: "Perempuan Padi "

Perempuan Padi
Cerpen Azizah Hefni (Jawa Pos, 11 November 2012)

ARA, di hamparan sawah itu, aku selalu ada; ikut bersemai bersama padi-padi dan lenguh sapi.
***
Sepanjang hari, aku selalu menantimu duduk di pinggir selokan itu. Tubuhmu yang mungil berlari keluar dari rumah berbata merah, sembari menebar senyum ke arah padi-padi. Pada mulanya kau hanya akan memandang jauh pada hamparan sawah yang hijau, kemudian matamu yang bening akan menatap ke awan. Awan-awan yang selalu bergumpal. Awan-awan yang membentuk hewan-hewan atau wajah-wajah khayalan. Kau akan berteriak, “Tuu waaannn!! Tuu waann!” (Itu awan! Itu awan!).

Kau seperti burung kenari yang berdendang menyambut pagi. Bau badanmu pasti sangat kecut dan kau belum sikat gigi. Betismu yang kering tampak .................Selengkapnya

Cerpen karya Akira Adhisurya: "Kura-Kura Sungai Kamo"

Kura-Kura Sungai Kamo
Cerpen karya Akira Adhisurya (Suara Merdeka, 18 November 2012)

PERNAHKAH terselip keinginan pada diri kita untuk, betapa pun kecilnya, kembali ke masa lampau, menghidupinya lagi seperti masa kini? Tanpa kita sadari itulah yang sebenarnya terjadi ketika kita melangkah ke dunia maya. Itulah salah satu esensi Facebook yang sekarang nyaris dimiliki siapa saja asal dia tidak buta internet. Bukankah jejaring sosial ini mempertemukan kembali para pelaku masa lampau? Selain teman masa kini dan teman yang belum pernah ditemui, seorang pemilik profil Facebook pasti juga kembali bersua dengan teman masa lalunya. Tidak jarang pula perjumpaan di alam maya Facebook berlanjut dengan pertemuan yang sebenarnya: para pelaku masa lampau akhirnya kembali bergaul di masa kini.

Layak kutegaskan, pertemuan yang berikut kututurkan bukanlah gagasanku. Itu ide Wati tak lama setelah kuberitahu tentang kedatanganku. Dalam salah satu pesannya, dia sudah kirim ratusan pesan sejak satu setengah tahun bergaul lewat Facebook denganku, adik kelas bekas asistenku ini mendesak-desak untuk bertemu secepatnya, karena ............Selengkapnya

Minggu, 09 Desember 2012

Cerpen karya Abidah El Khalieqy: "Menunggu Kapak Ibrahim"

Menunggu Kapak Ibrahim
Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 29 Juli 2012)

MENDELIK Algojo tak percaya. Untuk membuktikan keanehan yang disaksikan, petugas pencabut nyawa itu coba menebas lehernya dengan pedang istana yang pernah digunakan oleh raja untuk memenggal leher-leher para durjana.

Crrresss!!!

Putus sudah itu kepala. Jatuh menghadap ke tanah. Entah apa mantra yang dibaca, mulutnya komat-kamit, napasnya terengah mengisap energi baru dari dasar bumi. Tak dinyana, kepala pun kembali seperti sediakala.

“Ha! Kembali lagi?!” Algojo nyalangkan mata. “Kamu ini keturunan dajjal dari seberang mana, hah! Kok sakti amat. Ditebas pedang istana belum juga koit.”

“Bukan ane yang sakti, tapi pedang ente yang sudah tumpul. Sono diasah dulu lima tahun lagi, biar gak kalah dengan keris Ken Arok.” .......................Selengkapnya

Cerpen karya Leopold Indrawan: "Kereta Kematian"

Kereta Kematian
Cerpen Leopold Indrawan (Koran Tempo, 11 November 2012)

TAK pernah kubayangkan bagaimana rasa kematian itu. Ingatanku tentang hidup berakhir ketika sebuah peluru menembus keningku. Seragam prajuritku kembali bersih dan licin seperti sebelum aku berangkat ke Normandia. Tak ada bekas koyak ataupun resapan darah. Luka-luka di sekujur tubuhku sirna seakan kulitku belum sempat menghirup udara perang. Namun kurasa tak banyak yang hilang. Padahal kukira kematian akan melenyapkan ingatan.

“Kau punya kekasih?” tanya Magnus (kami sama-sama memandang ke luar jendela). Ia melahap dua kursi untuk tubuhnya yang terlampau besar. Pria itu mengenakan baju zirah rantai, celana linen cokelat muda kusam, dan sepatu bot kulit bertemali. Ia memangku helm baja berwarna perunggu. Sebuah perisai kayu bundar bercat biru-merah miliknya disandarkan di punggung kursi depan.

“Aku sudah menikah,” jawabku. .....................Selengkapnya

Cerpen karya Korrie Layun Rampan: "Terbakar"

Terbakar
Cerpen karya Korrie Layun Rampan|

Apakah yang unik dikisahkan tentang Bentas Babay? Arus sungai yang berubah dari sebuah dataran tanjung yang berlekuk ke selatan, dan tanjung yang memanjang itu digali oleh Babay --seorang pedagang yang selalu memintas di tempat itu dengan perahu berdayung dua. Karena ingin memperpendek jarak, Babay menggali tanjung curam itu. Oleh aliran air sungai yang deras selama musim banjir, lama-kelamaan tanjung itu putus dan membentuk sungai baru. Bagian ke hilir sungai itu membentuk sebuah teluk, yang pada arus air dalam, teluk itu memusar dengan ulak yang masuk ke dalam lingkaran arus yang deras. Ngeri sekali tampaknya.

Karena terusan yang berubah jadi sungai itu digali Babay, hingga kini orang menyebutnya Bentas Babay, yang maknanya bertemunya sungai baru akibat putusnya sebuah dataran tanjung  ............
Selengkapnya

Cerpen karya Teguh Winarsho AS: "Kamar Belakang"

Kamar Belakang
Cerpen karya Teguh Winarsho AS|

SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat, buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. ..............
Selengkapnya

Sabtu, 08 Desember 2012

Cerpen karya AA Navis: "Robohnya Surau Kami"

Cerpen "Robohnya Surau Kami"
karya : AA Navis.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek .......................Selengkapnya

Cerpen karya Putu Wijaya: "LAKI-LAKI SEJATI"

LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen karya Putu Wijaya

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
"Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?"

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan. ............selengkapnya

Jumat, 07 Desember 2012

Cerpen karya Putu Wijaya: "GURU"

Guru
Cerpen Karya: Putu Wijaya

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya. ......................selengkapnya

Cerpen karya Indra Tranggono: "Bulan Terbingkai Jendela"

Bulan Terbingkai Jendela
Cerpen Karya: Indra Tranggono

Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak, yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapa melelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia, pikirnya. ................Selengkapnya

Cerpen karya Kuntowijoyo: "ANJING-ANJING MENYERBU KUBURAN"

ANJING-ANJING MENYERBU KUBURAN
Cerpen Karya: Kuntowijoyo

Ia tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.

Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya. Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon ..................Selengkapnya

Kamis, 06 Desember 2012

Cerpen karya Satmoko Budi Santoso: "Simpang Ajal"

Cerpen "Simpang Ajal"
Karya: Satmoko Budi Santoso

SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri! ........................Selengkapnya

Cerpen karya Putu Wijaya: "Raksasa"

Cerpen "Raksasa"
Karya: Putu Wijaya

Orang bilang menang jadi arang, kalah jadi abu. Itu tidak selamanya benar. Ketika perang Bharatayudha berakhir, tak semua orang mati. Ada beberapa orang raksasa berhasil melarikan diri, kemudian bersembunyi sehingga hidupnya sampai sekarang lestari. Beberapa di antaranya sekarang tinggal di Indonesia. Hidup mereka aman, damai, dan sentausa.

Tetapi karena raksasa telah dianggap sebagai mahluk jahat yang tidak beradab dengan taring tajam, mulut lebar, yang mau makan apa saja, tak peduli harta dan hak orang lain termasuk daging manusia, semua raksasa itu menyembunyikan sejarah dan identitasnya. Mereka berbaur sebagai manusia biasa, rakyat jelata yang tidak perlu ditakuti. Ada yang menyamar jadi sopir, tukang minyak, tukang becak, tukang ojek, sopir angkot, ada juga yang jadi guru, pegawai negeri, pedagang, pemborong, bintang film, cerdik-pandai, pemimpin partai sampai pada pejabat dan panutan masyarakat di bidang rohani. Semuanya menjaga ketat rahasia mereka sebagai raksasa. Sebab .......................Selengkapnya

Rabu, 05 Desember 2012

Cerpen karya AA Navis: "Topi Helm"

Cerpen "Topi Helm"
Karya: AA Navis

Terjunjungnya topi helm di atas kepala Tuan O.M. menjamin kelancaran kerja di bengkel kereta api di kota kecil Padang Panjang. Meskipun Tuan O.M. itu pendek, tapi oleh topinya yang besar itu, tersandang jugalah wibawanya sebagai opseter mesin di bengkel itu. Dan oleh bawahannya di lengketkan julukan Si Topi Helm atas Tuan O.M. yang oleh ayahnya sendiri dinamai Gunarso. Malah pakai R.M. pula di depannya sebab turunannya.

Demikian besar wibawanya. Hingga kalau sekelompok orang mengobrol selagi kerja di bengkel itu, lalu di antaranya membisikkan: "Sssst. Si Topi Helm," maka berjungkir baliklah mereka bekerja dengan tekunnya. Kadangkala ini menjadi olok-olok. Misalnya sekelompok orang mengobrol, lalu seseorang menyebut Si Topi Helm dengan tiba-tiba, tunggang langganglah mereka ke tempat kerjanya kembali. Dan pura-pura asyiklah mereka bekerja, seolah-olah mereka sejak dari tadi benar-benar bekerja. Tapi tahu-tahu kedengaranlah tawa terbahak-bahak. Maka tahulah mereka bahwa ada yang berolok-olok dan mereka telah tertipu. ........................Selengkapnya

Cerpen karya Ahmad Tohari: "Senyum Karyamin"

Cerpen "Senyum Karyamin"
Karya: Ahmad Tohari

Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalananya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.....

Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu ...........Selengkapnya

Selasa, 04 Desember 2012

Cerpen karya Marshdal Zaenal: "Laron"

Cerpen "Laron"
Karya: Marshdal Zaenal

Sedari pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap, dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah, melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.

Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan ....................Selengkapnya

Cerpen karya Endik Koeswoyo: "SERATUS HARINYA BAPAK"

Cerpen Karya: Endik Koeswoyo

Sungguh saya tidak menyangka, kalau akan datang tamu sebanyak ini. Apalagi Emak, hanya bisa jalan-jalan dari dapur keruang tamu, begitu saja dari tadi, bolak-balik seperti orang bingung.

“Mak, kenapa?’’

“Entahlah Le, Emak bingung!” sambil nyelonong lagi keruang tamu, menyalami ibu-ibu yang baru datang.

Tamu yang datang semakin banyak, saya sudah dua kali mengambil tikar di mushola Haji Nandar. Didapur, Yu Jum dan Lek Katiran juga kebingungan, nasi yang ada di dandang sudah hampir habis. Untung ada Kang Poniman dan Istrinya yang membuat dapur dari tumpukan bata merah dibelakang rumah. Terlihat juga Kang To dan anaknya sedang menyembelih beberapa ekor ayam.....


Selengkapnya, Download Cerpen

Cerpen karya Danarto: "Bengawan Solo"

Cerpen "Bengawan Solo"
Karya: Danarto

Badan saya masih meriang ketika polisi itu datang. Semalam, saya berkelahi melawan Pak Darkin memperebutkan Nining dan saya kena swing kepalan kirinya. Saya terjerembab tak sadarkan diri. Anak-anak mengangkat tubuh saya ke atas dipan. Ada yang sibuk mencarikan minuman panas. Ada yang mau memanggil dokter. Ada yang memijit. Malam itu, karena peristiwa itu, penghuni Rumah Kita jadi rame sekali. Rupanya ada yang lapor polisi tentang perkelahian itu. Polisi itu kembali ke pos ketika saya katakan bahwa kejadian semalam perkelahian biasa, tidak penting untuk dipersoalkan. Tapi, apa pun yang terjadi, kami, penghuni Rumah Kita dengan para pedagang di Pasar Kliwon, telah kehilangan Nining yang digelandang Pak Darkin secara paksa kembali ke rumahnya. Nining, gadis kecil hitam manis tujuh tahun, memang milik Pak Darkin, meski hanya sebagai ayah tirinya .................Selengkapnya

Senin, 03 Desember 2012

Cerpen karya Putu Wijaya: "Kucing"

Cerpen "Kucing"
Karya: Putu Wijaya

KAMI bertengkar lagi. Menurut saya, tetap tiga hari sekali. Tidak bisa diganggu-gugat. Sekali-sekali boleh empat hari sekali. Tapi jangan sampai satu minggu sekali. Meskipun ini bulan Puasa. Itu kan kebutuhan rohani.

Tapi dasar kepala batu. Satu minggu satu kali saja sudah kebanyakan. Katanya dua minggu sekali cukup. Orang lain ada yang sebulan sekali. Apalagi pada bulan suci. Kalau tidak setuju terserah.
Setuju? Bagaimana mungkin saya setuju. Mestinya dia harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun, saya masih tetap fit. Saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.

Tapi kontrak tidak bisa hanya satu pihak. Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada. Akhirnya .....................Selengkapnya

Cerpen karya AA Navis: "Rekayasa Sejarah Si Patai"

Cerpen "Rekayasa Sejarah Si Patai"
karya: AA Navis

Seorang anak  kecil  ingusan berlari ke halaman ketika mendengar  genderang dipalu di jalan raya. Peristiwa  yang jarang  terjadi. Anak kecil itu berlari  membawa  badannya yang buntal tanpa baju. Matanya bersinar-sinar  memandangi para marsose (pasukan seperti Kopasus sekarang) berpawai sambil memalu  genderang yang diiringi bunyi trompet bersuara lengking. Kepala anak kecil itu seperti  dihela magnit mengikuti pawai. Tapi demi  melihat serombongan  laki-laki tanpa baju yang wajah dan  tubuhnya berlumur  cat  hitam,  anak kecil itu  merasa  ngeri.  Dan ketika melihat sebuah kepala terpenggal pada ujung  tombak yang digoyang-goyang, hatinya kecut. Memekik-mekik dia memanggil ibunya waktu berlari kembali ke rumah. Tapi ibunya tidak  ada. Di pojok kamar anak kecil itu terduduk  dengan kedua dengkul menopang kepala. Terisak karena merasa tidak terlindung dari ketakutan. Kepala terpenggal di ujung tombak,  dengan rambut panjang yang bergelimang darah  kering  dan  mata yang memutih terbuka lebar, tak putus-putus  melintas dalam mata angan anak kecil yang masih ingusan itu. Lebih dirapatkannya kedua dengkulnya seperti hendak menyatukan seluruh tubuhnya .......................Selengkapnya

Minggu, 02 Desember 2012

Cerpen karya Kuntowijoyo: "RUMAH YANG TERBAKAR"

Cerpen "RUMAH YANG TERBAKAR"
Karya: Kuntowijoyo

Ada dua pantangan yang tak boleh di langgar di dusun pinggir hutan itu. Kata orang, mahluk halus yang menunggu dusun, mbaurekso, akan marah bila ada yang berani menerjang larangan. Kemarahan tidak hanya ditimpakan pada pelanggarnya, tetapi pada seluruh warga. Tidak seorangpun, kecuali yang berani nyerempet-nyerempet bahaya melanggarnya. Itupun dengan resiko dikucilkan oleh penduduk. Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin dengan orang dari dusun di dekatnya, dusun yang terletak di sebelah utara pematang, meskipun secara administratif masuk dalam kelurahan yang sama. Kedua, orang tidak boleh mendirikan surau di dusun itu.

Pantangan pertama bisa dimengerti karena ada perbedaan pekerjaan. Di sebelah selatan adalah petani, sedang di sebelah utara adalah pedagang. Engkau tak akan berbahagia kawin dengan orang pelit, apa-apa dihitung, kata orang-orang tua. Pantangan yang kedua ada hubungannya dengan yang pertama. Dulu perbedaan pekerjaan itu telah menyebabkan perang antar desa. Karena itu orang selatan harus berbeda dengan orang utara dalam segala hal. Memakai bahasa sekarang, orang akan bilang “harus punya jati diri”. Kebetulan dusun di utara itu adalah dusun santri dan mau tidak mau orang selatan harus jadi abangan  .................Selengkapnya

Cerpen karya Seno Gumira Ajidarma: "Saksi Mata"

Cerpen "Saksi Mata"
Karya: Seno Gumira Ajidarma

Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba  udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.

Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya, membasahi sepatunya dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dnegan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat suasana makin panas ...................Selengkapnya

Sabtu, 01 Desember 2012

Daftar Isi


Cerpen karya AA Navis: "Zaim Yang Penyair Pergi ke Istana"

Cerpen "Zaim Yang Penyair Pergi ke Istana"
Karya: AA Navis
  
Aku dapat undangan mengikuti suatu kongres di  Jakarta. Penginapan peserta di Hotel Indonesia. Hotel yang alu  kagumi pada awal didirikan 35 tahun yang lalu. Saat  kongres itulah aku baru bisa inapi. Temanku sekamar Zaim  namanya. Penyair  dari Madura. Aku belum melihat batang  hidungnya. Mungkin  sudah. Hanya karena belum kenal saja  aku  merasa belum ketemu dia.

Rupanya  pada setiap kongres yang  bertaraf  nasional, mestilah  dibuka oleh Presiden. Bila Presiden  tidak  bisa hadir,  maka pesertalah yang datang menghadap  ke  Istana. Aku termasuk salah seorang yang tidak bisa ikut  menghadadap oleh alasan tidak  memiliki syarat yang  pantas. Yaitu stelan jas dan dasi. Yah, apa boleh buatlah. Maka aku  pun tenang-tenang saja menerima sejarah hidup yang tidak bisa ketemu Presiden ...............Selengkapnya